Prajurit TNI aktif boleh menduduki jabatan sipil di kementerian/lembaga seperti narkotika nasional, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

Penegakan supremasi sipil, demokrasi, dan HAM seperti yang disebut mayoritas fraksi di Komisi I DPR dalam pengambilan putusan tingkat I beberapa hari lalu tidak terlihat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Beberapa ketentuan justru berpeluang mereduksi supremasi sipil, hukum, dan demokrasi. Antara lain Pasal 47 ayat (2) memberi kesempatan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di sejumlah kementerian/lembaga negara. Seperti narkotika nasional, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.
Direktur Democratic Justice Reform (De Jure), Bhatara Ibnu Reza, menyoroti sekretariat kabinet yang diposisikan di bawah sekretariat militer Presiden. Sekretariat Kabinet merupakan bagian dari kabinet yang posisinya independen, tapi saat ini posisinya berpotensi di bawah kendali militer melalui sekretariat militer Presiden.
“Patut diingat tentara tidak boleh berpolitik, tapi faktanya mereka dapat memantau politik di kabinet,” katanya dalam diskusi bertema Menyikapi Draf RUU TNI per 18 Maret 2025 dan Rencana Pengesahan RUU TNI, Rabu (19/3/2025).
Bhatara melihat perubahan posisi Sekretariat Kabinet di bawah Sekretariat Militer Presiden ini hanya untuk mengakomodasi kepentingan Letnan Kolonel Teddy Indra Wijaya yang ditunjuk sebagai Sekretaris Kabinet. Kebijakan ini akan berdampak terhadap tata kelola ketatanegaraan di Indonesia. Apalagi kepentingan ini diakomodasi dalam RUU TNI yang substansinya kuat mengembalikan peran tentara seperti masa orde baru tapi dengan gaya yang berbeda.
“Kalau dulu pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto menggunakan militer untuk mengekang seluruh aspek, tapi sekarang mempengaruhi kabinet,” ujarnya.