[Policy Brief] Stabilitas ASEAN Diuji: Refleksi Indonesia atas Krisis Thailand–Kamboja

Sejak 24 Juli 2025, konflik bersenjata kembali pecah antara Thailand dan Kamboja di wilayah sengketa sekitar Candi Preah Vihear. Meski gencatan senjata telah tercapai pada 28 Juli 2005 dengan mediasi Malaysia, eskalasi kekerasan yang menyebabkan setidaknya 32 korban jiwa dan lebih dari 200.000 pengungsi menunjukkan rapuhnya stabilitas kawasan. Konflik ini tidak hanya menjadi ujian bagi mekanisme penyelesaian damai ASEAN, tetapi juga membuka kembali pertanyaan mengenai posisi dan peran Indonesia di tengah krisis kawasan. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dengan rekam jejak diplomatik yang panjang, Indonesia pernah memainkan peran mediasi penting dalam konflik serupa pada tahun 2011. Namun dalam perkembangan terbaru, mediasi justru dipimpin oleh Malaysia selaku ketua ASEAN 2025. Dalam konteks ini, policy brief ini menelaah dinamika konflik Thailand–Kamboja, posisi ASEAN, dan peluang strategis Indonesia untuk kembali memainkan peran diplomatik aktif yang kredibel dan bermakna.

Konflik antara Thailand dan Kamboja berkisar pada sengketa wilayah di sekitar Candi Preah Vihear, sebuah kompleks keagamaan kuno yang telah menjadi titik panas hubungan bilateral selama beberapa dekade. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 memutuskan bahwa Candi Preah Vihear berada di wilayah Kamboja, batas-batas geografis yang tidak jelas di sekitarnya tetap menimbulkan klaim tumpang tindih, terutama atas area seluas 4,6 km².[1]

Ketegangan memuncak pada tahun 2008, ketika Kamboja berupaya mendaftarkan candi tersebut sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, mendorong kedua negara memperkuat kehadiran militer di perbatasan dan memicu bentrokan mematikan pada tahun 2008 hingga 2011. ICJ kemudian mengeluarkan putusan lanjutan pada tahun 2013 yang menegaskan bahwa area sekitar Preah Vihear berada di bawah kedaulatan Kamboja dan meminta Thailand menarik pasukannya. Namun, status wilayah perbatasan lainnya yang disengketakan tidak diselesaikan, membuat ketegangan tetap berlangsung.[2]

Sejak 2008, konflik Thailand–Kamboja beberapa kali meletus, termasuk konfrontasi berdarah pada 2011 yang dimediasi Indonesia. Namun, skirmish (perang kecil) kembali terjadi pada 28 Mei 2025 dan berkembang menjadi konflik terbuka pada 24 Juli setelah insiden tembak-menembak di sekitar candi Prasat Ta Muen Thom.[3]

Kedua negara saling menyalahkan atas awal bentrokan bersenjata yang melibatkan artileri, roket, dan jet tempur. Thailand melaporkan korban sipil, sementara Kamboja menuduh serangan menyasar warga sipil. Eskalasi dipicu ledakan ranjau, saling tarik duta besar, dan tuduhan pelanggaran wilayah. Kamboja membawa kasus ke DK PBB, sedangkan Thailand menolak yurisdiksi ICJ dan campur tangan pihak ketiga seperti Amerika Serikat dan China.[4]

Setelah serangkaian mediasi yang gagal, pada 28 Juli 2025 akhirnya dicapai kesepakatan gencatan senjata tanpa syarat melalui perantara Malaysia. Walaupun gencatan senjata tercapai, akar permasalahan belum terselesaikan. Untuk menempatkan eskalasi terbaru dalam konteks yang lebih luas, tabel-tabel berikut merangkum rangkaian peristiwa kunci dalam sengketa perbatasan Thailand–Kamboja:

Tabel 1. Peristiwa Terkait Sengketa Perbatasan Kamboja–Thailand

TahunPeristiwa
1904Perbatasan ditetapkan berdasarkan Perjanjian Franco–Siamese (masa kolonial Prancis).
1907Prancis dan Thailand menandatangani perjanjian batas wilayah.
1954Thailand menduduki Candi Preah Vihear.
1962Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan Candi Preah Vihear berada di wilayah Kamboja.
2003Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh dibakar dalam kerusuhan, dipicu oleh pernyataan seorang aktris Thailand.
2008UNESCO menetapkan Preah Vihear sebagai Situs Warisan Dunia → memicu protes di Thailand.
2011Bentrokan perbatasan menewaskan 22 orang.
2013ICJ menegaskan kembali kedaulatan Kamboja hanya atas candi, bukan lahan sekitarnya.

Tabel 2. Linimasa Konflik Thailand-Kamboja 2025

TahunPeristiwa
28 Mei 2025Bentrokan antar tentara di perbatasan, 1 tentara Kamboja tewas.
5 Juni 2025Pembicaraan damai diadakan untuk menjaga perdamaian antara kedua negara.
7 Juni 2025Thailand dan Kamboja mengirim lebih banyak pasukan ke perbatasan. Kamboja melarang siaran televisi Thailand.
15 Juni 2025PM Thailand Paetongtarn Shinawatra berbicara lewat telepon dengan mantan PM Kamboja Hun Sen.
18 Juni 2025Rekaman percakapan tersebut bocor di media sosial.
19 Juni 2025Kamboja melarang buah dan sayur dari Thailand.
20 Juni 2025Thailand memanggil duta besar Kamboja dan mengajukan protes resmi.
21 Juni 2025Thailand menutup satu gerbang perbatasan, Kamboja menutup dua gerbang perbatasan.
1 Juli 2025PM Thailand Paetongtarn Shinawatra dicopot dari jabatan.
16 Juli 20254 tentara Thailand terluka, Kamboja dituduh menanam ranjau darat dekat perbatasan.
23 Juli 2025Thailand menarik kembali duta besarnya dari Kamboja.
24 Juli 2025Thailand meluncurkan serangan udara F-16 ke sasaran militer Kamboja.
26 Juli 2025Trump mulai menghubungi PM Thailand dan Kamboja, mendorong gencatan senjata melalui tekanan perdagangan.
28-29 Juli 2025Gencatan senjata tanpa syarat yang dimediasi oleh Malaysia.
30 Juli 2025Thailand menuduh Kamboja kembali melanggar gencatan senjata dengan serangan ringan di perbatasan; Kamboja membantah.

Berikut visualisasi peta yang memperlihatkan lokasi utama bentrokan militer yang terjadi pada 24 Juli 2025:

Gambar 1. Peta Titik Bentrokan di Perbatasan Thailand–Kamboja (24 Juli 2025)

2. Konteks ASEAN dan Ketidakhadiran Kepemimpinan Indonesia

Dalam eskalasi konflik ini, ASEAN kembali diuji sebagai platform regional untuk penyelesaian damai. Malaysia sebagai Ketua ASEAN berhasil mendorong tercapainya gencatan senjata, namun peran Indonesia justru terlihat pasif, kontras dengan keterlibatannya pada krisis serupa di tahun 2011. Indonesia memiliki posisi yang tepat untuk menjadi penengah yang kredibel, didukung oleh letak strategis, pengaruh diplomatik di kawasan, serta hubungan historis yang baik dengan Thailand dan Kamboja.

Ketidakhadiran Indonesia terasa janggal mengingat rekam jejaknya yang kuat dalam penyelesaian konflik kawasan, termasuk peran penting sebagai pemrakarsa Jakarta Informal Meeting yang mendorong perdamaian Kamboja pada tahun 1991, serta sebagai pemantau gencatan senjata dalam proses perdamaian Mindanao sejak 2004. Kedua keterlibatan tersebut menunjukkan kapasitas Indonesia sebagai aktor netral dan kredibel, bahkan ketika tidak bertindak atas nama ASEAN.

Penarikan diri Indonesia dari peran kepemimpinan regional dalam konflik ini menyisakan pertanyaan penting tentang komitmennya terhadap stabilitas kawasan dan efektivitas ASEAN sebagai kerangka penyelesaian damai berbasis “kinship” yang mengedepankan harmoni, musyawarah, dan penyelesaian damai tanpa intervensi eksternal, sebagaimana diamanatkan dalam Piagam ASEAN.

3. Eskalasi Konflik dan Peran Aktor Global

Konflik terbaru antara Thailand dan Kamboja tidak hanya terjadi dalam ruang kosong regional. Dalam beberapa hari setelah pecahnya pertempuran pada 24 Juli 2025, sejumlah kekuatan besar mulai menunjukkan minat strategis, baik melalui pernyataan publik maupun langkah diplomatik yang cenderung memperkeruh situasi.

Amerika Serikat dan China, dua aktor utama dalam persaingan geopolitik Indo-Pasifik, sama-sama mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan menyerukan gencatan senjata. Namun, Kamboja secara eksplisit menyampaikan keberatan terhadap keterlibatan aktor-aktor besar tersebut, sementara Thailand bersikukuh bahwa penyelesaian harus bersifat bilateral tanpa tekanan eksternal.

Konflik ini menegaskan bahwa daratan Asia Tenggara tetap rentan terhadap kompetisi kekuatan global. Jika ASEAN gagal merespons cepat, kekosongan diplomatik dapat diisi aktor eksternal, mengancam independensi kawasan. Ketidakstabilan juga berpotensi memicu milisi lintas batas, penyelundupan, dan krisis pengungsi yang berdampak ke negara tetangga seperti Laos dan Vietnam.

Meskipun China secara resmi menyerukan gencatan senjata dan mendukung pendekatan regional, absennya kepemimpinan tegas dari negara-negara ASEAN dapat membuka ruang bagi Beijing untuk memperluas pengaruh melalui jalur diplomatik dan ekonomi. Ketergantungan infrastruktur Thailand dan Kamboja terhadap Belt and Road Initiative (BRI) menempatkan China dalam posisi strategis untuk menjadi penengah alternatif, yang dalam jangka panjang dapat menggeser sentralitas ASEAN sebagai pengelola konflik kawasan.

4. Implikasi dan Risiko terhadap Indonesia

Meski secara geografis tidak berbatasan langsung dengan Thailand maupun Kamboja, Indonesia tetap terdampak oleh memanasnya kembali konflik di kawasan Candi Preah Vihear. Setidaknya terdapat tiga implikasi utama yang patut dicermati:

a. Risiko Destabilisasi Kawasan

Sebagai negara dengan kepentingan besar terhadap stabilitas Asia Tenggara, Indonesia perlu mewaspadai efek domino dari konflik ini. Ketegangan bersenjata di perbatasan Thailand–Kamboja berpotensi memicu ketidakpastian regional yang lebih luas, termasuk mengganggu rantai pasok, aktivitas perbatasan, serta kerja sama multilateral ASEAN yang selama ini bergantung pada stabilitas kawasan. Skirmish yang terus terjadi dapat membuka peluang intervensi aktor luar dan memperuncing skirmish rivalitas kekuatan besar di Asia Tenggara.

Di luar dimensi keamanan, konflik ini juga berpotensi mengganggu rantai logistik darat di kawasan Indochina, khususnya koridor perdagangan Mekong–Thailand–Vietnam yang menjadi tulang punggung ekspor-impor darat subkawasan. Gangguan perbatasan dan ketidakpastian politik dapat berdampak pada lalu lintas barang, meningkatkan biaya logistik, serta menurunkan kepercayaan investor terhadap kestabilan ekonomi daratan Asia Tenggara.

b. Ancaman terhadap Sentralitas ASEAN

Konflik ini menguji efektivitas mekanisme damai ASEAN, termasuk prinsip non-intervensi dan penyelesaian berbasis musyawarah (ASEAN Way). Meski Malaysia saat ini telah mengambil inisiatif mediasi, Indonesia sebagai negara ASEAN terbesar tetap memiliki ekspektasi normatif dari negara-negara anggota untuk turut menjaga sentralitas organisasi. Kegagalan ASEAN dalam menangani konflik ini secara damai akan melemahkan posisi politik kawasan dan memperbesar celah bagi kekuatan eksternal untuk turut campur.

c. Kepentingan Historis dan Kredibilitas Diplomatik Indonesia

Konflik Thailand–Kamboja tahun 2008–2011 menjadi titik balik diplomasi kawasan karena peran aktif Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Saat itu, Indonesia mendorong keterlibatan kolektif ASEAN dan mengusulkan pengiriman tim pemantau (IOT), langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Menurut Mely Caballero-Anthony, ini menandai pergeseran keamanan regional ASEAN dari pasif menjadi kooperatif.[5]

Meski tidak menyelesaikan akar konflik, mediasi ini meredakan eskalasi dan membuka jalan bagi keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2013. Upaya tersebut memperkuat posisi Indonesia sebagai penengah regional yang kredibel, serta memperluas peran ASEAN dalam manajemen konflik intra-kawasan.

Anggota DPR Komisi I, TB Hasanuddin, menegaskan pentingnya keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian damai, mengingat kekuatan militer, posisi strategis, dan hubungan baik dengan kedua negara. Ia menolak campur tangan kekuatan besar seperti Amerika Serikat atau China, serta menolak pendekatan kekerasan karena berisiko menimbulkan korban sipil dan memperpanjang penderitaan.[6] Pernyataan ini mencerminkan pandangan strategis bahwa Indonesia bukan hanya bystander state, tetapi regional balancer yang memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk menjaga perdamaian kawasan.

Dalam konflik yang kembali pecah pada Juli 2025, pemerintah Indonesia sempat dikritik pasif karena belum menyampaikan sikap politik terbuka. Kritik ini dijawab oleh Kementerian Luar Negeri yang menyatakan bahwa Indonesia menempuh diplomasi senyap melalui jalur ASEAN, sejalan dengan prinsip bebas aktif. Komunikasi tingkat tinggi disebut terus dilakukan untuk mendorong de-eskalasi, menjaga keselamatan WNI, dan mendukung solusi damai berbasis konsensus kawasan.[7]

Meskipun pendekatan quiet diplomacy sejalan dengan prinsip bebas aktif dan tradisi kehati-hatian Indonesia, absennya posisi publik yang jelas dapat melemahkan persepsi kepemimpinan regional Indonesia. Dibanding peran proaktif pada tahun 2011, respons Indonesia di tahun 2025 dinilai minim arahan strategis dan berisiko memperkuat kesan bahwa ASEAN kembali ke pola lama: normatif tapi tidak responsif. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang konsistensi dan kredibilitas Indonesia sebagai aktor pembentuk norma (norm-shaping actor) di kawasan.

5. Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia

Mengingat intensitas konflik Thailand–Kamboja yang telah meningkat menjadi konfrontasi bersenjata, serta posisi strategis Indonesia di kawasan, terdapat beberapa langkah kebijakan yang dapat dipertimbangkan guna merespons situasi ini secara aktif, terukur, dan konstruktif:

a. Mendukung Mediasi Malaysia dalam Kerangka ASEAN

Meskipun Malaysia telah memimpin upaya mediasi saat ini, Indonesia tetap dapat memainkan peran pendukung yang kuat untuk menjaga kesatuan dan efektivitas ASEAN. Indonesia dapat mendorong ASEAN Troika (trio diplomatik informal dari negara anggota yang paling relevan atau berpengaruh) untuk memperkuat solidaritas kawasan dalam mendesak penghentian tembak-menembak dan kembali ke meja perundingan. Dukungan ini penting untuk menegaskan bahwa ASEAN tetap menjadi platform utama penyelesaian konflik intra-kawasan.

b. Menawarkan Diri sebagai Co-Mediator atau Fasilitator Netral

Mengacu pada pengalaman Indonesia dalam mendamaikan konflik perbatasan Thailand–Kamboja pada 2011 di mana Indonesia sebagai Ketua ASEAN mendorong organisasi untuk pertama kalinya terlibat langsung dalam konflik antaranggota, serta keterlibatan diplomatik jangka panjang dalam proses perdamaian di Kamboja (1990-an) dan Mindanao, Indonesia memiliki landasan kuat untuk kembali menawarkan diri sebagai co-mediator. Meskipun peran Indonesia di Kamboja dan Mindanao berlangsung di luar kerangka ASEAN, ketiganya memperlihatkan pola konsisten kepemimpinan Indonesia dalam menyuarakan penyelesaian damai berbasis dialog. Dengan mengaktifkan kembali peran tersebut, Indonesia tidak hanya menunjukkan kesinambungan komitmen terhadap diplomasi damai, tetapi juga memperkuat kredibilitas ASEAN dalam menyelesaikan konflik internal tanpa perlu melibatkan kekuatan eksternal.

c. Menegaskan Penolakan terhadap Intervensi Kekuatan Besar

Indonesia perlu memperkuat posisi ASEAN sebagai kawasan yang otonom dari rivalitas kekuatan besar, karena campur tangan eksternal hanya akan memperumit penyelesaian konflik dan mengganggu kohesi regional. Pernyataan terbuka yang menegaskan dukungan terhadap mekanisme kekeluargaan ASEAN, seperti yang disampaikan oleh anggota parlemen, perlu diangkat ke level eksekutif untuk menjaga kredibilitas Indonesia sebagai pengusung norma kawasan. Mengingat rekam jejak kepemimpinan sebelumnya yang lebih menonjol dalam mediasi regional, diperlukan keterlibatan yang lebih afirmatif agar Indonesia tidak dipersepsikan sebagai penonton pasif dalam krisis ini.

d. Memperkuat Diplomasi Preventif dan Humanitarian Track

Indonesia dapat menginisiasi diplomasi jalur kedua (Track Two diplomacy) sebagai pelengkap diplomasi formal ASEAN.[8] Pendekatan ini melibatkan akademisi, mantan pejabat, LSM, dan think tank seperti ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (AIPR), Indonesian Peace Institute, atau lembaga masyarakat sipil lain yang memiliki kapasitas mediasi dan akar sosial di kawasan.

Track Two memungkinkan terbentuknya ruang dialog yang lebih fleksibel dan informal, terutama dalam kondisi saat diplomasi formal masih menemui kebuntuan. Inisiatif ini dapat menjadi jembatan antara aktor negara dan komunitas akar rumput, serta memperkuat legitimasi upaya perdamaian yang berbasis partisipasi dan kepercayaan.

Selain itu, Indonesia dapat mendorong respons kemanusiaan melalui mekanisme ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance (AHA Centre) untuk menangani kebutuhan lebih dari 200.000 pengungsi akibat konflik.[9] Pendekatan ini menunjukkan komitmen Indonesia terhadap keamanan manusia (human security), tanpa mengesampingkan prinsip non-intervensi dan solidaritas kawasan.

e. Mengaktifkan Forum Pertahanan ASEAN

Melalui peran aktif di ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) dan ADMM-Plus, Indonesia dapat mengusulkan dialog keamanan tingkat tinggi untuk mencegah perluasan konflik. Pendekatan ini relevan, sejalan dengan prinsip bahwa strong diplomacy must be backed by credible defence capacity. Tanpa harus melakukan pengerahan kekuatan, langkah ini memperkuat posisi Indonesia sebagai strategic balancer yang memiliki kapasitas pengaruh dalam isu keamanan kawasan.

6. Penutup

Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja di kawasan Candi Preah Vihear yang kembali memanas sejak Juli 2025 menandai ujian serius bagi stabilitas kawasan dan efektivitas mekanisme damai ASEAN. Meski Malaysia saat ini memimpin upaya mediasi, eskalasi konflik telah menunjukkan bahwa respons kawasan harus bersifat kolektif, terukur, dan segera.

Sebagai negara dengan sejarah panjang diplomasi perdamaian dan kekuatan strategis di kawasan, Indonesia tidak hanya memiliki legitimasi moral, tetapi juga kapasitas diplomatik dan pertahanan yang cukup untuk mengambil peran aktif, baik sebagai pendukung mediasi, fasilitator netral, maupun penjaga prinsip kawasan bebas intervensi asing. Keterlibatan Indonesia juga sejalan dengan kepentingan nasionalnya untuk menjaga stabilitas regional, mencegah meluasnya krisis kemanusiaan, dan mempertahankan kredibilitas ASEAN sebagai arsitek perdamaian di Asia Tenggara.

Ke depan, respons Indonesia terhadap konflik ini akan menjadi barometer kesiapan kawasan dalam menghadapi tantangan geopolitik baru. Oleh karena itu, keterlibatan aktif, tidak hanya di level diplomasi formal, tetapi juga melalui jalur kemanusiaan dan pertahanan non-ofensif, menjadi krusial untuk memastikan perdamaian dan keamanan yang berkelanjutan di Asia Tenggara. Menunda keterlibatan hanya akan memperkuat persepsi bahwa Indonesia bukan lagi jangkar stabilitas kawasan, melainkan hanya penonton pasif.

7. Referensi

Caballero-Anthony, Mely. An Introduction to Non-Traditional Security Studies: A Transnational Approach. London: SAGE Publications, 2016.

Jones, Peter. Track Two Diplomacy in Theory and Practice. Stanford, CA: Stanford University Press, 2015.

Strate, Shane. The Lost Territories: Thailand’s History of National Humiliation. Honolulu: University of Hawai’i Press, 2015.

ASEAN Secretariat. Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC). Phnom Penh, 2002.

ASEAN Regional Forum. “Preventive Diplomacy: Enhancing Regional Mechanisms.” ARF Annual Report, 2023.

International Court of Justice. Case Concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia v. Thailand), Merits, Judgment of 15 June 1962. I.C.J. Reports 1962, p. 6.

International Court of Justice. (2013, November 11). Request for interpretation of the judgment of 15 June 1962 in the case concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia v. Thailand). https://www.icj-cij.org/case/45

Aljazeera. “Thailand and Cambodia to hold ceasefire talks in Malaysia” 27 Juli 2025. https://www.aljazeera.com/amp/news/2025/7/27/trumps-ceasefire-push-fails-to-stop-thailand-cambodia-border-clashes

BBC News. “Thailand-Cambodia Border Clashes: Deadly Fighting over Preah Vihear Temple.” Published February 7, 2011. https://www.bbc.com/news/world-asia-pacific

Channel News Asia. “CNA Explains: Why Thailand and Cambodia are clashing” 24 Juli 2025. https://www.channelnewsasia.com/asia/thailand-cambodia-cna-explains-border-clash-history-5256341

CSIS. “Thailand Launches Airstrikes Amid Border Dispute with Cambodia”. Published July 24, 2025. https://www.csis.org/analysis/thailand-launches-airstrikes-amid-border-dispute-cambodia

KBRN. “TB Hasanuddin Dorong Indonesia Terlibat dalam Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja.” RRI, 28 Juli 2025. https://rri.co.id

Nikkei Asia. “Thai, Cambodian armies trade gunfire across border, killing 14 Thais”. 24 Juli 2025. https://asia.nikkei.com/Politics/International-relations/Thai-Cambodian-armies-exchange-fire-as-border-dispute-escalates?utm_source=whatsapp&utm_medium=referral   

Tempo. “Apa Dampak Perang Thailand-Kamboja ke Indonesia?”. 27 Juli 2025. https://www.tempo.co/politik/apa-dampak-perang-thailand-kamboja-ke-indonesia–2051502

The Nation News. “Amnesty International Thailand calls for immediate ceasefire.” 27 Juli 2025. https://www.nationthailand.com/news/asean/40053147

Tirto. “Kemlu: RI Berdiplomasi Senyap Tanggapi Konflik Thailand-Kamboja”. 28 Juli 2025. https://tirto.id/kemlu-ri-berdiplomasi-senyap-tanggapi-konflik-thailand-kamboja-heZP


[1] International Court of Justice. Case Concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia v. Thailand), Merits, Judgment of 15 June 1962. I.C.J. Reports 1962, p. 6.

[2] International Court of Justice, Request for Interpretation of the Judgment of 15 June 1962 in the Case concerning the Temple of Preah Vihear (Cambodia v. Thailand), Judgment of 11 November 2013, https://www.icj-cij.org/case/45.

[3] Channel News Asia. “CNA Explains: Why Thailand and Cambodia are clashing” 24 Juli 2025. https://www.channelnewsasia.com/asia/thailand-cambodia-cna-explains-border-clash-history-5256341

[4] CSIS. “Thailand Launches Airstrikes Amid Border Dispute with Cambodia.” Published July 24, 2025. https://www.csis.org/analysis/thailand-launches-airstrikes-amid-border-dispute-cambodia

[5] Mely Caballero-Anthony. An Introduction to Non-Traditional Security Studies: A Transnational Approach. London: SAGE Publications, 2016.

[6] KBRN. “TB Hasanuddin Dorong Indonesia Terlibat dalam Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja.” RRI, 28 Juli 2025. https://rri.co.id

[7] Tirto. “Kemlu: RI Berdiplomasi Senyap Tanggapi Konflik Thailand-Kamboja.” 28 Juli 2025. https://tirto.id/kemlu-ri-berdiplomasi-senyap-tanggapi-konflik-thailand-kamboja-heZP

[8] Peter Jones. Track Two Diplomacy in Theory and Practice. Stanford, CA: Stanford University Press, 2015.

Bagikan ini ke