Perlindungan HAM dalam RKUHAP Demi Perbaiki Sistem Peradilan Pidana

Pemahaman keliru mengenai perlindungan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia menjadi salah satu masalah utama yang harus segera diatasi.

Kiri-kanan: Sekjend PBHI Gina Sabrina, Praktisi Hukum Awan Puryadi, Dosen FH Universitas Trisakti Maria Silvya, Direktur Dejure Bhatara Ibnu Reza, dan Ketua Bidang Kerjasama Internasional DPP IKADIN, Erwin Natosmal Oemar dalam sebuah Diskusi, Selasa (25/3/2025).

Direktur Democratic Judicial Reform (Dejure), Bhatara Ibnu Reza berpandangan pemahaman yang keliru mengenai perlindungan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia menjadi salah satu masalah utama yang harus segera diatasi. Prinsip habeas corpus menurut Bhatara menjamin hak seseorang untuk diam dan mendapatkan penasihat hukum seharusnya menjadi dasar dalam proses hukum.

“Prinsip ini sangat penting untuk memastikan bahwa setiap individu mendapat perlindungan yang seharusnya dalam sistem peradilan,” ujarnya dalam Diskusi Publik Dejure, Selasa (25/3/2025).

tengah memperluas kewenangannya dalam sistem peradilan pidana. Ia menilai keinginan untuk memiliki peran dominus litis atau pengendali perkara yang lebih kuat bisa menimbulkan konflik antar lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. 

“Kewenangan yang tidak jelas dan tumpang tindih sering kali menimbulkan kebingungannya di lapangan,” tambah Bhatara.

Selain itu, Bhatara menyoroti potensi penyalahgunaan kekuasaan yang bisa terjadi akibat perbedaan kewenangan antar lembaga. Ia mendesak adanya reformasi signifikan dalam sistem peradilan pidana. Setidaknya untuk memastikan adanya pengawasan yang lebih efektif terhadap lembaga-lembaga penegak hukum.

Bagikan ini ke