Catatan Diskusi Publik RUU TNI, RUU Kepolisian, RUU Kejaksaan

Catatan Diskusi Publik

“Memperluas Kewenangan dan Memperkuat Pengawasan (Kritik RUU Kejaksaan, RUU Polri dan RUU TNI)”

Fakultas Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan

Kamis, 20 Maret 2025

Diskusi dilaksanakan di Aula Pertemuan Fakultas Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, yang dihadiri oleh sekitar 130 orang dari kalangan civitas akademia, praktisi, dan media. Terdapat 4 narasumber dalam diskusi publik ini, yaitu: 1) Prof. Dr.phil. Poltak Partogi Nainggolan, Peneliti BRIN; 2) Idil Syawfi, S.IP., M.Si., FISIP Universitas Katolik Parahyangan; 3) Valerianus Beatae Jehanu, S.H., M.H., Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan; 4) Awan Puryadi– Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure.

Prof. Dr.phil. Poltak Partogi Nainggolan, Peneliti BRIN

Masalah RUU TNI yang hari ini disahkan memiliki komplikasi yang hebat, dari kondisi ini dibentuk untuk status negara kita. Rechstaat atau machstaat. Semua dipaksa atas nama kekuasaan. RUU ini mirip UU Omnibus Law, tapi ini lebih cepat. Surat Presiden dan Panitia Kerja kurang dari sebulan sudah selesai mengalahkan UU IKN dan Omnibus Law Cipta Karya, dipaksakan, tertutup, dan cepat. RUU ini dibahas di hotel mewah secara tertutup dan DIM tidak mempertimbangkan masukan publik (tidak pernah ada public hearing).

Secara praktik, rakyat dinilai tidak paham dan dinilai kampungan ketika mengkritik. TNI sendiri yang sudah bekerja tanpa mengundurkan diri, ada ribuan bahkan mencapai 2.500. Nah, mengubah UU sesudah ada pelanggaran terhadap UU sebelumnya, ini yang terjadi di UU TNI. 

Secara substansi, tampak amandemen lebih sedikit hanya terkait perluasan kewenangan dan perpanjangan usia pensiun. UU ini menjadi payung hukum bagi TNI untuk masuk ke dalam ranah sipil.

Di negara-negara lain, militer juga diberikan bahan tentang hukum humaniter. Jadi membunuh itu dalam situasi perang. Itu yang disebut dengan control sipil, ketika terjadi pelanggaran, langsung diproses. Ada pertanggungjawaban. Problem kita kan tidak ada control sipil, ketika ada pelanggaran, dia akan terbebas. Bukan cuman soal pendekatan perangnya ya.

Di Draft yang sudah disetujui, tidak ada itu pengawasan DPR. Itu tidak boleh Presiden ambil Keputusan tanpa Keputusan DPR, karena kalau tidak itu akan subyektif civilian supremacy. Di UU Terorisme itu bahkan ada, tapi di UU TNI yang baru malah gak ada. Ini kelihatan asal-asalan dalam membuat UU. Nah, ini yang berbahaya.

UU TNI in ikan menambah problem, ketidakpastian hukum, otoritarian rezim terbentuk. Tanpa ada UU Perbantuan TNI, yang diperlukan di mana-mana, tanpa ada UU peradilan militer yang kuat, militer kemudian menjadi tidak tersentuh.

Ekonomi dunia semakin sulit, tidak ada domestic resiliency, kelas menengah semakin turun, jadi ya ancaman krisisnya juga. Memang yang masyarakat miskin diberikan subsidi, tapi mau sampai kapan. Nah, tanpa ada kepastian hukum, dengan kewenangan yang kuat, secara domestic lemah, desakan dari global semakin kencang, jadi pelanggaran HAM juga potensial semakin tinggi. Nah, kasus penembakan seperti sabung ayam di Lampung, bisa jadi semakin banyak. 

Kita mau mempertahankan negara hukum atau negara kekuasaan, maka itu terkait dengan MoU yang banyak, itu harusnya dibatalkan. Secara hukum, kitaitu punya Konstutusi dan UU. Ketika ada Perpres, itu sudah absen kontrol parlemen. Nah, tanpa control Parlemen, itu bukan lagi jadi alat negara, tapi jadi alat penguasa. Nah, ini yang kita temukan, bagaimana prosesnya juga sama, manipulatifnya juga sama.

Idil Syawfi, S.IP., M.Si., FISIP Universitas Katolik Parahyangan 

Undang-undang TNI, memaknai bahwa kita semua ini sleepwalking, berjalan tapi tidak sadar dengan adanya intervensi militer.

Praktik militer di jabatan sipil Kementerian dan Lembaga ini sudah terjadi, sudah ada penempatan-penempatan dan tinggal dibuat payung hukumnya. Maka itu, tidak diperdebatkan oleh DPR. UU TNI ini bukan hanya cacat, tapi tidak lengkap karena ada beberapa hal yang belum tercakup dan tidak dimasukan.

OMSP ini menjadi permasalahan, Usia masa dinas, yang di highlight itu bukan hanya tamtama dan bintara, tetapi jenderal bintang 4 itu pensiun sesuai dengan keputusan presiden. Misalnya, Angkatan 88 itu ada A dan B, setelah sekian tahun menjadi masalah. Karena patinya usia masa dinasnya di perpanjang, artinya akan banyak pati yang tidak memiliki pekerjaan, jika pati tidak memiliki pekerjaan, yang harus takut itu adalah sipil. Masa dinas yang diperpanjang agar bisa ditempatkan di kementerian. Ini kan sifatnya administratif. Secara teoritis harusnya militer ini dibuat sibuk di area militer, agar tidak masuk dalam area sipil. Sipil seharusnya semakin memahami militer, dan militer menjauh dari area sipil.

Dari sisi Naskah Akademis, NA RUU TNI tidak begitu jelas, termasuk tidak adanya argument yang jelas untuk menambahan Pasal-pasal. Revis ini justru akan menurunkan profesionalisme TNI

Kontrol sipil militer: Sipil harusnya memahami, memiliterkan militer dan merancang isi militer itu seperti apa, kemudian budget, persenjataan, dan menpower; di sisi yang lain, militer akan semakin expert dalam mejalankan tugas pertahanannya.

Kenapa harus ada pemisahan? Yang diajarkan kepada militer adalah melumpuhkan; hanya militer yang memiliki mandat membunuh, terutama dalam perang.

Corporateness: ada jiwa korsa dan punya karakter yang berbeda dari sipil; tidak ada demokrasi dalam militer, tidak ada critical thinking di militer.

Yang terjadi sekarang subjective civilian control; sipilnya yang kemudian mengajak-ajak militer ke ranah sipil. Elit sosial politik tertentu akan bekerja sama dengan militer untuk mengontrol sipil. Militer diajarkan untuk melumpuhkan, kemudian diminta mengerjakan akuntansi, akan kesulitan pasti.

Subyektif civilian ini disebabkan oleh: Sipil gagal dalam militerisasi militer (MEF tidak terpenuhi), Kegagalan dalam manajemen organisasi militer, Kegagalan memenuhi kesejahteraan militer, dan Inferiority complex.

Hal yang terabaikan dalam revisi UU TNI: Remunerasi untuk wilayah perbatasan dan luar, TNI dalam dinamika global, Komitmen anggaran pertahanan (maksimal atau minimal dari GDP), Kewenangan Strategi dan operasi; strategi di sipil, operasi di militer, Doktrin pertahanan negara, TNI, dan Angkatan, dan Diplomasi pertahanan dan militer.

Valerianus Beatae Jehanu, S.H., M.H., Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

Aspek proses dan materil pembentukan peraturan itu dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa dikatakan, proses itu hanya prosedur dan dapat dilampaui. Bahkan, saking pentingnya aspek formil, bila ada proses yang terlewat, ia akan berimplikasi serius. Nah, RUU TNI ini sangat cepat dan melanggar peraturan perundang-undangan.

Dari semua RUU, tidak ada dokumen yang ditampilkan terkait dengan RUU yang dibahas. Harusnya, menurut peraturan perundang-undangan, semuanya ditampilkan. Sementara RUU TNI, tidak ada dokumen-dokumen yang diakses dan informasinya sangat beragam. Apalagi, RUU TNI disusun dalam waktu yang sangat cepat, di hotel mewah, dan tertutup.

Sekarang proses pembuatan kebijakan itu bersifat otokratik legalisme; tanpa prosedurnya ditempuh di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan, tapi hasilnya sudah ditentukan; prosesnya seakan-akan demokratis, tapi substansinya otokratis. Partisipasi (dalam hal ini RDPU) hanya pura-pura, untuk justifikasi saja. Daftar hadir dijadikan justifikasi, bahkan bila nantinya diajukan ke MK.

NA RUU TNI ini naskah yang tidak akademik. Tapi  NA RUU TNI ini parah, bahkan RUU ini diperlukan untuk memberikan justifikasi atas praktik yang saat ini terjadi. RUU ini justru dibuat untuk menjustifikasi yang unlawful.

Terkait dengan RUU Kejaksaan

Ada beberapa isu, yang paling kentara adalah intelijen dalam penegakan hukum, jaksa memiliki fungsi untuk cipta kondisi yang mendukung Pembangunan. Dalam rangka intelijen, jaksa bisa mendukung Pembangunan. Nah, ini yang terjadi di Rempang.

Kemudian, jaksa bisa mengawasi di ruang media; Ini frasa pengawasan multimedia. Nah, intelnya turun dalam hal apa? Apakah sudah pro justicia, atau tanpa ada kasus pro justicia, dia akan bisa gunakan.

Sementara itu, control atau pengawasan terhadap institusi ini lemah. Pasal impunitas, misalnya, di kejaksaan. Kontrol terhadap sipilnya semakin kuat, control internalnya lemah. Ini Bahasa, karena memungkinkan impunitas di institusi kejaksaan. Di Militer ada impunitas dengan belum direvisinya UU Militer, nah ini di Kejaksaan justru terbuka peluang impunnitas baru.

Awan Puryadi– Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure

Di (hotel) Fermont kemarin, menurut info yang kita dapat, juga ada jadwal RUU Kejaksaan, bukan hanya RUU TNI. Kenapa ini kok bersama-sama.

Dalam prosesnya, pada 2023 ada MoU antara Kejaksaan dan TNI, di antaranya share pesonel. Ketika di kasus Pertamina, itu ada lorengnya yang mengawal, karena memang ada MoU-nya, secara praktik sudah dilakukan.

Dalam UU Kejaksaan 2021 (revisi atas UU 2004): secara terminologyi bila dibandingkan sudah agak bermasalah di dalam revisi tahun 2021. Definisi dalam UU 2004 telah baik. Tapi pada UU 11/2021, Kejaksaan adalah pemerintah (eksekutif), berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif), yang sudah melampaui skema pemilahan kekuasaan. Kalau dia yudikatif, apakah dia bertanggung jawab ke Presiden, nah di sini mulai blur. Di dalam UU 11/2021 kejaksaan sudah berada di dua kaki, antara yudikatif dan eksekutif.

Ini kejaksaan sudah trans (melampaui) wilayahnya. Kekeliruanya kira-kira: Kekuasaan Kehakiman itu independent dan berada di yudikatif; sementara Kejaksaan itu pemerintah yang ada di lembaga eksekutif. Kejaksaan harus lapor ke Presiden yang termasuk dalam rumpun eksekutif. Jadi sudah campur baur antara eksekutif dan yudikatif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi sistem hukum kita dan demokrasi.

Kemudian hak imunitas, juga tadi sudah disebutkan. Pada kasus Pinangki, Jaksa Agung pernah mengeluarkan peraturan memberikan pendampingan hukum, karena dianggap melaksanakan tugas kejaksaan walaupun dalam hotel. Walaupun, satu hari dibatalkan, karena banyak desakan. Nah ini, imunitas langsung legal, sah. Jaksa ini ada di lembaga eksekutif, jadi lembaga eksekutif memberikan imunitas, yaitu oleh Jaksa Agung. Harusnya imunitas ini diberikan oleh yudikatif.

Belum lagi ditambah kewenangan lain yang akan membuka luas kewenganan jaksa, misalnya:

–              Di dalam UU saat ini sudah ada Pasal 8 (5) UU 11/2021 yang menegaskan “Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya atas ijin Jaksa Agung”, ini problem, karena kejaksaan itu Lembaga eksekutif. Jadi, Lembaga eksekutif memberikan imunitas pada dirinya sendiri.

–              Ada penambahan “pengamanan kebijakan penegakan hukum” yang sangat luas, bahkan bisa menjangkau mana saja.  Ini kan luas, menyangkut banyak hal, lintas institusi penegak hukum.

–              Kemudian Jaksa punya kewenganan “Penelusuran, perampasan, dan pengembalian asset tindak pidana” dan dalam RUU akan membentuk Badan Pemulihan Aset. Nah, di kasus robot trading misalnya, ini sudah terjadi, asset bisa dirampas, tapi pengawasannya tidak ada.

Penghapusan korupsi di KUHAP itu hanya gimmick saja, karena nantinya ketika di KUHAP pasti akan diadopsi itu. Karena dari sisi UU saja sudah jelas.

–              Kewenangan intelijen bagi Jaksa; salah satu fungsi intelijen adalah pemanggilan tanpa adanya kejelasan, padahal harusnya intelijen tidak boleh bersentuhan dengan obyek/ yang dipantau. Nah, akan berbahaya bila intel kejaksaan justru memanggil seseorang untuk ditanya tentang suatu hal padahal itu tidak melalui proses penyelidikan. Karena bukan di wilayah penegakan hukum, ini tentunya tidak  bisa di-challenge, tidak bisa dipraperadilankan. Nah, intelijen ini beberapa macam diatur dalam RUU Kejaksaan:

a.            Jadi, jaksa diberikan kewenangan pemanggilan dalam penegakan hukum, bukan dalam konteks pro justicia. Pernah kejadian, dulu, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi.

b.            Kejaksaan juga bisa “mengamankan”, nah ini juga sama halnya dengan pemanggilan atau penahanan.

c.             Penegahan KKN dalam bingkai KKN: Beda dengan dalam bingkai pro justicia. Jadi, ini jaksa masuk dalam kekuasaan politik, bukan kekuasaan penegakan hukum. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu.

d.            Multimedia: secara praktik bisa digunakan oleh kejaksaan untuk mengawasi multimedia.

Ada klausul berbeda di revisi 2025: Sebagian besar yang diatur dalam RUU adalah kewenangan menghentikan kasus di luar pengadilan, atau disebut dengan RJ. Kalau kemarin masuk di Peraturan Jaksa Agung, sekarang dimasukkan ke dalam UU. Kenapa ini mau dimasukkan? Karena bisa jadi, Kejaksaan mengulik kasus, kemudian dengan alasan tertentu diberhentikan dengan alasan RJ. Lalu bagaimana dengan kasus illegal mining, misalnya, kemudian dihentikan dengan alasan RJ.

Jadi ledakan kewenangan ini luar biasa, hampir tidak terdeteksi. Sudah ngawur kita katakan. Nah, proses revisi ini juga sudah dikondisikan, di antaranya misalnya, sebagai suatu bacaan, Kejaksaan dikondisikan untuk naik, di mana kasus-kasus high profile itu naik semua, misalnya Pertamina, dll, yang diselesaikan oleh Kejaksaan. Nantinya, kewenangan itu diberikan.

Bagikan ini ke