Kamis, 12 Juni 2025
Pengakuan mantan Camat Gajahmungkur, Kota Semarang, Ade Bhakti Ariawan, ikut mengantar penyerahan uang Rp350 juta kepada Kanit Tipikor Polrestabes Semarang dan Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Semarang, tidak boleh dianggap angin lalu.
Pengakuan Ade Bhakti Ariawan disampaikan saat memberikan kesaksian dalam persidangan kasus dugaan suap yang menyeret mantan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu (Ita) dan suaminya, Alwin Basri.
“Pemberitaan tentang mantan camat di Semarang yang menyerahkan uang setoran kepada penegak hukum, menandakan penegakan hukum masih sangat lemah,” kata Direktur Democratic Judicial Reform (De Jure) Bhatara Ibnu Reza kepada wartawan, 12 Juni 2025.
Bhatara memandang, kerentanan terjadinya korupsi semakin tinggi ketika penegak hukum memiliki kewenangan kendali atas suatu perkara, apalagi kasus yang terkait dengan korupsi dan kejahatan ekonomi.
“Hal ini disebabkan karena tidak adanya check and balance pemeriksaan yang bertahap dari satu institusi ke institusi lain, menjadi celah besar potensi praktik koruptif dan suap-menyuap,” tuturnya.
Lanjutnya, pengendali perkara ini setidaknya terjadi pada kejaksaan sekarang, yang berwenang memulai penyelidikan hingga penuntutan, yang tidak jarang memunculkan praktik abuse of power dalam pelaksanaan kewenangannya.
Melihat realitas itu, Bhatara memandang revisi UU Kejaksaan yang hendak menempatkan Kejaksaan sebagai kendali perkara harus ditinjau kembali oleh DPR dan Pemerintah.
“Alih-alih memberikan kewenangan lebih kepada penegak hukum, terutama Kejaksaan, adalah lebih penting bagi DPR dan Pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasannya, baik secara internal maupun secara eksternal,” pungkasnya.
Sumber: rmol.id